masukkan script iklan disini
Tuban, Jawa Timur — Keputusan mutasi terhadap mantan Kapolres Tuban AKBP William Cornelis Tanasale memicu kritik tajam dari publik dan sejumlah pengamat, yang menilai langkah tersebut mencerminkan lemahnya komitmen reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
William Cornelis sebelumnya dicopot dari jabatan Kapolres Tuban dan menjalani pemeriksaan oleh Bidang Propam Polda Jawa Timur atas dugaan tekanan terhadap anggota untuk menyetorkan uang dalam jumlah besar serta pemotongan anggaran operasional. Namun, alih-alih diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH), ia justru hanya dimutasi ke posisi baru sebagai Perwira Menengah di Pusat Sejarah Kepolisian RI (Pusjarah Polri) — jabatan administratif yang dinilai tidak operasional.
Mutasi tersebut tertuang dalam Telegram Rahasia Kapolri Nomor ST/2781 B/XII/KEP./2025 tertanggal 15 Desember 2025, sementara posisi Kapolres Tuban kini diisi oleh AKBP Allaiddin, yang sebelumnya menjabat di Bareskrim Polri.
Reaksi Publik dan Kritik terhadap Reformasi Polri
Keputusan ini dibaca oleh publik sebagai sinyal lemahnya penegakan disiplin internal terhadap perwira tinggi, terutama bila dibandingkan dengan sanksi yang diberikan kepada anggota di tingkat lebih rendah. Dalam narasinya, sejumlah komentator menyebut mutasi sebagai “tempat aman” atau bentuk mitigasi reputasi, bukan akuntabilitas sejati.
Sorotan terhadap mutasi ini muncul di tengah wacana reformasi kepolisian yang terus dibahas di tingkat nasional. Belakangan, Komisi Percepatan Reformasi Polri menyoroti persoalan promosi dan rekrutmen yang masih bermasalah serta tantangan budaya karier dalam tubuh Polri.
Sementara itu, upaya reformasi lebih luas juga muncul melalui pembentukan komite reformasi yang melibatkan tokoh independen sebagai langkah strategis meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Para pengamat hukum dan kepolisian menilai kasus mutasi William Cornelis mencerminkan kesenjangan antara retorika reformasi dan praktik internal organisasi. Meski reformasi kerap dikumandangkan dalam jargon “Polri Presisi” — yang menekankan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas — kasus ini dipandang sebagai ujian serius terhadap implementasi prinsip tersebut.
“Mutasi tanpa sanksi tegas terhadap dugaan pelanggaran serius dapat menimbulkan persepsi bahwa reformasi masih sebatas slogan,” kata seorang pengamat kepolisian yang tidak ingin disebutkan namanya.

